Press enter to see results or esc to cancel.

KONFLIK KEKUASAAN POLITIK



KONFLIK KEKUASAAN POLITIK
OLEH             : DINA AGUSTINA
                          NUR INTAN SARI RITONGA & IRWAN
A.    KEKUASAAN NEGARA
Teori kekuasaan negara adalah teori lama yang sudah banyak dianut para intelektual dan diterapkan diseluruh negara di dunia. Secara substansial, teori kekuasaan negara bermuara pada upaya-upaya negara untuk melegitimasi segala tindakannya sehingga diakui sebagai bagian kehidupan manusia.
Erich kauffman (dalam brecht, 1970: 345) menyebutkan, esensi negara adalah pengembangan, peningkatan, dan penyebaran kekuasaan, bersama-sama dengan kemauan untuk menjaga dan memperthankan diri dengan sukses. Upaya pertama negara adalah penanaman kekuatan yang tertinggi, bukannya energi-energi mental dan moral bangsa yang merupakan hasil sampingan.
Menurut Lasswell, kekuasaan adalah suatu bentuk pelaksanaan pengaruh yang khusus, proses pendekatan kebijakan-kebijakan pihak lain dengan bantuan (yang aktual ataupun ancaman) penyitaan-penyitaan yang kasar bagi ketidaksepakatan atas kebijakan-kebijakan yang ditujukan.
Ilmu politik membicarakan kekuasaan secara umum dengan semua bentuk di mana semua hal itu terjadi. Kekuasaan politik merupakan suatu istilah yang kompleks yang selalu berkaitan dengan bentuk kekuasaan yang lain seperti kemakmuran, dan persenjataan. Kekuasan sebagai sesuatu yang idealis.
Franz magnis (2003: 39) menyebutkan bahwa kekuasaan akan tetap jika memiliki legitimasi yang dimaksud dibagi dalam tiga kategori, yakni :
1.      Legitimasi legalitas, kekuasaan diakui secara hukum; di dapat sesuai prosedur hukum.
2.      Legitimasi demokratis, kekuasaan negara harus mendapat pengakuan dari seluruh rakyat.
3.      Legitimasi normatif, menitikberatkan kekuasaan secara etis dan moralistis.
Bentuk legitimasi kekuasaan yang banyak dipakai oleh negara-negara di dunia, termasuk indonesia adalah legitimasi legalitas. Negara berhak melakukan tindakan apapun (kekuasaan) karena sesuai dengan aturan/hukum. Legalitas adalah salah satu kriteria bagi keabsahan wewenang dan menuntut agar semua wewenang (kekuasaan) dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku. Suatu tindakan dianggap sah karena sesuai dengan hukum dan dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan hukum.
B.     KONFLIK KEKUASAAN
Dalam sebuah negara yang demokratis, konflik menjadi bagian dari proses demokrasi, baik ketika dalam proses memutuskan produk hukum maupun dalam mengimplementasi produk hukum tersebut. Dalam pandangan teoretis, teori konflik diantaranya dapat digunakan sebagai landasan untuk membahas masalah konflik yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dalam ilmu-ilmu sosial dan politik, konflik dipahami sebagai fakta karena manusia pada prinsipnya tunduk atau mengikuti fakta sosialnya. Dalam teori sosiologi, teori konflik merupakan antitesis dari teori fungsionalisme struktural.
1.      Tinjauan teoretis
Arus utama dalam teori konflik pada intinya berisi premis-premis sebagai berikut :
a.       Masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan terus menerus diantara unsur-unsurnya.
b.      Setiap elemen akan memberikan sumbangan pada disintegrasi sosial.
c.       Keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan oleh golongan yang berkuasa.
             Dalam teori struktural vis a vis, premis-premis utama dari teori konflik menyatakan:
a.     Masyarakat berada pada kondisi statis, atau tepatnya kondisi seimbang. Distribusi kekuasaan secara merata ada dalam lapisan anggota masyarakat sesuai fungsinya. Oleh karena itu, konflik akhirnya menjadi sesuatu yang hampir dapat dipastikan memang ada dalam kehidupan masyarakat.
b.    Konflik juga dapat berasal dari adanya tindakan individu sebagai pihak yang dikuasai terhadap sanksi yang diberikan oleh pihak yang sedang berada pada posisi menguasai.
c.     Konflik merupakan fungsi dari adanya pertentangan antara penguasa dan yang dikuasai, dimana penguasa senantiasa ingin mempertahankan “set of properties” yang melekat pada kekuasaannya. Sementara itu, yang dikuasai selalu terobsesi untuk mewujudkan perubahan yang dianggapnya satu-satunya jalan untuk mencapai perbaikan posisi dirinya.
Menurut pandangan teori konflik, struktur dalam masyarakat hanya menimbulkan penindasan dari superordinat terhadap subordinat, melahirkan ketidakadilan, ketidakmerataan, dan knflik. Oleh karena itu, struktur tidak diperlukan, termasuk juga keluarga. Keluarga dapat menjadi modal sosial dalam mengantisipasi konflik yang mengakibatkan kekerasan dan kerusuhan sosial.
Fukuyama mengemukakan,
“If members of the group come to expect that others will behave reliably and honestly, then they will come to trust one another. Trust is like a lubricant that makes the running of any group organization more efficient.”
2.      Perspektif sosial politik
Konflik dapat dijelaskan berdasarkan berbagai asumsi teoretis karena didalamnya dapat terjadi dan sekaligus melibatkan berbagai kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat maupun kekuatan atau pengaruh politik yang ada dan tercermin dari kekuasaan.
Weber berpandangan bahwa masyarakat yang lebih diarahkan oleh rasionalnya daripada oleh nilai-nilai tradisional, serta meluasnya birokrasi di dalam wilayah ekonomi  dan pasar, akan menjadi individu yang dipergunakan rasionya. Adanya korelasi yang tinggi antara kekuasaan (power), kekayaan (wealth), dan martabat (prestige), menunjukkan bahwa jabatan atau wewenang dalam kekuasaan politik (party), pemilikan posisi ekonomi yang menguntungkan, dan keanggotaan di dalam kedudukan sosial yang tinggi (status group), dapat menimbulkan tindak kekerasan akibat diskontinuitis ditribusi ketiga hal tsb. Semakin besar tingkat kemunduran legitimasi dari kewenangan politik, semakin cenderung terjadi konflik antara superordinat dan subordinat.
3.      Perspektif kebudayaan
Kebudayaan memandang bahwa norma, nilai, dan hukum terwujud dalam tatanan kehidupan masyarakat, termasuk semua etnis dalam wilayah tertentu. Dalam menata kehidupan sosial dan kebudayaan yang berbeda antara satu dan yang lainnya, keutuhna dan persatuan dalam suatu wilayah dapat terjelma manakala mereka secara sadar dan rela dapat melatenkan atau memodifikasi norma, nilai, dan hukum yang nyata-nyata mengundang pertentangan etnis, agama, serta lapisan masyarakat.
Koentjaningrat (1984) mengelompokkan konflik ke dalam 4 macam :
a.       Konflik batin atau mental conflict (gagasan dan keinginan dalam diri individu)
b.      Konflik kebudayaan atau cultural conflict (persaingan antara warga dalam kolektif sosial yang mempunyai kebudayaan yang hampir seragam. Persaingan berlangsung berdasarkan perbedaan-perbedaan khusus pada unsur-unsur kebudayaan yang hampir seragam itu untuk memperbesar identitas kolektif sosial sendiri)
c.       Konflik kelas atau class conflict (pertentangan antara golongan dalam masyarakat yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan)
d.      Konflik peran role conflict (peranan atau peranan-peranan yang dipegang oleh seseorang individu yang dilaksanakan secara tidak konsisten)
Dalam konteks kebudayaan, menurut parson, dari segi teori integrasi sosial, kohesi sosial akan terjamin jika terpelihara dua hal :
a.       Mengusahakan proporsi yang cukup dari setiap komponen aktor-aktor yang memadai untuk bertindak sesuai dengan syarat-syarat dari  sistem-sistem perannya.
b.      Menghindarkan kesepakatan terhadap pola-pola kebudayaan yang salah satunya gagal dalam menemukan suatu tata tertib yang minim atau menempatkan tuntutan-tuntutan yang tidak mungkin terhadap penduduk sehingga menimbulkan penyimpangan dan pertentangan.
Sebuah kestabilan, kerukunan (perihal hidup damai, kesepakatan, saling tenggang rasa, satu hati dalam perbedaan) ditunjukkan adanya kesepakatan dalam perbedaan etnis, agama; saling menghormati warga masing-masing dan mengekang diri dari mengintervensi warga etnis lain serta bekerja sama dalam kegiatan yang tidak membawa keruntuhan eksistensi menurut batas demarkasi etnis dan agama masing-masing. Dalam hal ini ada 4 hal umum yang tercermin, yakni :
a.       Ada nilai-nilai dasar yang dianut tiap-tiap warga etnis memasuki kebudayaannya
b.      Status dan hak pribadi terjamin
c.       Prestise tidak jatuh
d.      Pemilikan dan pencaharian terjamin

C.    RESOLUSI KONFLIK
1.      Memahami konflik
Konflik dapat terjadi karena banyak sebab, seperti perbedaan nilai-nilai, kepentingan dan tujuan, serta persaingan untuk memenangkan sesuatu. Fenomena konflik dan kekerasan sudah berkembang sedemikian rupa dan telah menembus alam budaya masyarakat. Montagu dan matson (1983) mengemukakan , this contemporary, vague-wich has been variously labeled “terorist chick”, is cruetly cult, and just plain “punk” is not limitid to the movie built runs like a crimson thread throughout the realm of popular culture all the way.
Konflik maupun kekerasan dapat pula bersifat konkret dan abstrak. Konflik yang konkret pada umumnya cenderung mudah diupayakan alternatif solusinya yang tepat. Sebaliknya, konflik abstrak relatif lebih sulit untuk diupayakan solusinya. Konflik dapat di klasifikasikan berdasarkan :
a.       Dampak dalam organisasi; fungsional dan disfungsional
b.      Posisi para pelaku; horizontal dan vertikal
c.       Sifat dari para pelaku; tertutup dan terbuka
d.      Lamanya konflik; sesaat dan berkepanjangan
e.       Rencana target; sistematis dan non sitematis
TAHAPAN TERJADINYA KONFLIK :
 
2.      Menangani konflik
Faktor penentu suatu kelompok mampu bertahan dalam konflik berkepanjangan adalah besarnya kelompok tsb untuk dapat mengerhakan sumber-sumbernya, misalnya jumlah anggota kelompok mereka yang bersimpati dan sumber ekonomi yang dapat digerakkan.
Dalam menangani konflik, terdapat beberapa asumsi yang menopang teori integrasi yang juga tergambar dalam teori struktural fungsional parsons dan lainnya :
a.       Setiap masyarakat yang secara relatif tetap, struktur unsur-unsurnya relatif stabil.
b.      Setiap masyarakat terssusun dari unsur-unsur yang terintegrasi secara baik.
c.       Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, yakni memberikan kontribusi terhadap pemeliharaan keutuhannya sebagai sebuah sistem.
d.      Setiap fungsi struktur sosial didasarkan atas konsensus terhadap nilai-nilai di antara anggota-anggotanya.
Menangani suatu konflik dengan berbagai pendekatan :
Upaya mengatasi konflik dapat dilakukan melalui tindakan :
a.       Diciptakan suatu kemandirian yang cukup tinggi dari individu dan kelompok dalam masyarakat, terutama ketika berhadapan dengan negara.
b.      Diperlukan adanya ruang publik yang bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari seluruh warga negara melalui wacana dan praksis yang berkepentingan publik.
c.       Perlu diupayakan membatasi kekuasaan negara agar tidak memiliki sifat intervensionis.


D.    PEMIMPIN POLITIK
Pemimpin adalah orang yang membantu orang lain untuk memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Pemimpin bertindak dengan cara-cara yang memperlancar produktivitas, moral tinggi, respons yang energik, kecakapan kerja yang berkualitas, komitmen, efisiensi, sedikit kelemahan, kepuasan, kehadiran, dan kesinambungan dalam organisasi.
Fungsi seorang pemimpin adalah:
1.      Mengendalikan atau mengarahkan orang lain
2.      Memberi tantangan atau rangsangan-rangsangan kepada orang lain
3.      Menjelaskan kepada atau memberi intruksi kepada orang lain
4.      Mendorong atau mendukung orang lain
5.      Memohon atau mendukung orang lain
6.      Melibatkan atau memberdayakan orang lain
7.      Memberi ganjaran atau memperkuat orang lain
E. KEKUASAAN LOKAL
            Almond dan Verba (dalam Alfian, 1990 ) mendefenisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi warga Negara yang khas sebagai sistem politik dan aneka ragam baiannya, serta sikap terhadap peranan warga dalam sistem itu. Warga senantiasa mengidentifikasikan diri dengan symbol-simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki masing-masing. Orientasi seseorang tehadap objek politik mengandung tiga komponen orientasi, yakni orientasi kognitif, afektif, dan efaluatif. Pada orientasi kognitif yaitu menjadi tahu. Pada orientasi afektif, yang menjadi focus kepentingannya adalah pemuasan, yaitu pencapaian hubungan yang tepat dengan objek orientasi. h Sedangkan pada orientasi evaluative, yang menjadi fokus orintasi adalah pengintegrasian factor-faktor kognitif dan afektif yang terkait.
            Kehidupan masyarakat dipengaruhi interaksi anarorientasi dan antar nilai. Kontak-kontak antarsubbudaya politik  memungkinkan timbulnya interaksi. Pada dasarnya interaksi tersebut merupakan suatu proses pengembangan budaya politik bangsa. Dan proses ini lebih dikenal dengan sosialisasi politik, yaitu dimana seorang anggota masyarakat mengalami, menghayati, dan menyerap nilai-nilai politik disekitarnya. Melalui peruses itulah, budaya politik tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sosialisasi politik dan budaya politik Saling mempengaruhi. Pada satu pihak, pertumbuhan dan perkembangan budaya politik merupakan output sosialisasi politik, akan tetapi pada lain pihak budaya politik dapat pula berfungsi sebagai input dari sosialisasi politik ( Duverger, 1982).
            Dilihat dai fungsinya, secara keseluruhan, budaya politik bertujuan mencapai atau memelihara stabilitas poitik yang demokratis, sehingga cukup jelas bahwa masyarakat yang telah mencapai kadar integrasi politik yang tinggi memdahkan proses pengambilan keputusan dalam system politik. Pada prinsipnya, berfungsinya budaya politik dengan baik ditentukan oleh keserasian antara kebudayaan dan struktur politiknya. Semangkin serasi struktur politik dengan aspek-aspek budaya itu, semnkin matang pula budaya politiknya. Keanekaragaman budaya telah membawa pengaruh besar pada budaya politik bangsa. Banyangkan budaya daerah yang hadir dalam sistem budaya Indonesia telah menimbulkan subbudaya politik yang mempunyai corak yang berbeda dengan struktur budaya politik. Perbedaan antara subbudaya politik satu daerah dengan daereah lain semangkin diperbesar oleh keadaan geografis.
            Seorang ilmuan politik Australia, Herbert Feith, mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua subbudaya politik yang dominan, yaitu :
(1) aristokrasi jawa
(2) wiraswasta islam.
seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Chlifford greerts mengelompokkan masyrakat indonesia kedalam tiga subbudaya politik (sosio-cultural types), yaitu :
(1) petani pedalaman Jawa dan Bali
(2) masyarakat islam petani
(3) masyarakat penggunungan (Alfian,1991; Feith, 1975)
Karena bangsa Indonesia berdasarkan pada prinsip Bhineka Tungkal Ika, semua bentuk sub budaya politik yang ada adalah budaya politik Indonesia. Pernyataan ini menyiratkan bahwa apa yang disebut sebagai budaya nasional masi berupa kombinasi antara subbudaya politik yang diangkat ketingkat nasional oleh para pelaku politik. Dengan demekian terjadilah pada tinggat nasional terjadi interaksi antarsubbudaya politik (Greetz, 1963; Emmerson, 1976). Pembentukan budaya politik nasional dapat dibagi dalam tiga tahap. Pertama, yang sedang dalam proses pembentukan. Kedua, yang tengah mengalami proses pematangan. Dalam tahap ini, budaya politik pada dasarnya sudah ada, tetapi masih belum matang. Ketiga, yang telah diakui keberadaannya secara nasional (Alfian dan Nazarudin, 1991; Bahar, 1996). Proses pematangan budaya politik Indonesia pada dasarnya melibatkan suatu tahap penyerasian antara berbagai subbudaya politik local dan sub budaya nasional. Subbudaya politik local inilah yang mesti diserasikan dengan struktur politik nasional. Menurut Geertz (1996), subbudaya ini dapat melahirkan primordialisme, baik bersifat kedaerahan, keagamaan maupun kekauman.
     Pengakuan Bhineka Tunggal Ika secara resmi dapat dijumpai dalam rumusan kebudayaan seperti yang tercantum dalam UUD 1945. Pasal 32 UUD 1945 menampilkan tiga unsure kebudayaan nasional. Pertama, kebudayaan yang timbul sebagai hasil usaha budi rakyat Indonesia sepenuhnya. Kedua, kebudayaan lama dan asli sebagai puncak-puncak kebudayaan didaerah-daerah diseluruh Indonesia. Ketiga, bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa  sendiri, serta mempertinggi derajat Indonesia (Koentjaraningrat, 19840.
            Subbudaya lokal dapat digolongkan dalam budaya politik parochial (parochial political culture). Menurut Kantaprawira (1991), karena terbatasnya diferensiasi, dalam masyarakat tradisonal dan sederhana tidak dapat peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri, pelaku politik sering melakukan peranannya serempak dengan peranan dalam bidang ekonomi, social, dan keagamaan.  Dalam proses pematangan subbudaya politik, agama memberi dukungan pada adat. Seringkali agama berperan membenarkan pandangan masyarakat atas kekuasaan atau symbol-simbol yang melekat pada masyarakat tersebut.  Bantauan yang diberikan oleh agama biasanya dalam bentuk penyediaan nilai atau argumentasi yang membenarkan masyarakat.
            Interdependen antara adat dan agama sebagai karakter budaya politik local di Indonesia tercermin dalam konsep kekuasaan yang hidup dalam tiap-tiap daerah. Sendi utama dalam pematangan budaya politik local adalah pengakuaan atau kesepakatan atas nilai-nilai yang ada dalam masyarakat masing-masing. Interaksi antara adat dan agama mewarnai perkembangan subbudaya politik. Warna-warna subbudaya politik pada dasarnya cukup mencerminkan hubungan suatu daerah dengan pengaruh yang datang dari luar. Meskipun terdapat keanekaragaman, budaya politik lokal yang berkembang dalam komunitas-komunitas telah mewariskan segi-segi positif yang sama sehingga patut diikembangkan dalam penyelenggaraan Negara. Aspek-aspek politik budaya lokal yang dimaksud seperti, semangat kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah dalam mengatasi berbagai persoalan.
            Pada tingkat politik local, juga dapat terjadi ketegangan politik. Interaksi antara daerah dapat menimbulkan potensi-potensi yang dapat dilihat dari sudut komunitas lokal akan menjadi ancaman terhadap eksistensi budaya politik lokal. Perasaan akan adanya ancaman ini memunculkan sikap membentengi budaya politik asli agar lebih tegar menghadapi penetrasi-penetrasi semacam itu (Nazarudin dalam Alfian, 1991). Pada tingkat yang lebih operasional, artikulasi budaya politik lokal dapat dilihat melalui peranan pemuka adat, tokoh agama dan organisasi-organisasi sukarela yang bergabung dalam masyarakat. Artikulasi ini kemudian dapat terwujud dalam bentuk perilaku politik masyarakat.
1.      Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Seperti halnya suatu Negara, daerah yang merupakan  bagian dari unsur Negara, juga memiliki kekuasaan. Kekuasaan ersebut bersumber dari kepanjangan kepentingan dan kekuasaan Negara (pusat), sekalikus manifestasi kehendak rakyat di daerah. Dalam Negara dengan system pemerintahan demokrasi, puncak pemimpin pemerintah didaerah berada pada seorang kepala daerah (penguasa daerah). System pemilihannya pun dipengaruhi oleh tarik-menarik antara kepentngan-kepentingan elit politik dan kehendak publik yang telah berlangsung sejak kekuasaan lahir dalam seuatu Negara. Dengan demikian, sejarah Negara juga mempengaruhui pilihan system pilkada.
            Variasi system pilkada:
1)      Sistem penunjukan dan atau pengangkatan oleh pemerintah/pejabat pusat.
2)      Sistem pemilihan perwakilan oleh dewan (council). Sistem ini digunakan hampir oleh dua pertiga Negara-negara di dunia yang menganut system Negara kesatuan.
3)      Sistem pemilihan langsung oleh rakyat. System ini paling populer digunakan di negerara-negara yang menganut system pemerintahan Negara federasi, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Kanada.


Sekurangnya ada dua pandangan yang muncul berkaitan dengan pilkada secara langsung, yaitu:
1)      Pandangan pesimistis
 Menurut pandangan ini, di Negara-negara demokrasi dengan sisttem pemerintahan yang relatife mapan (established), seperti Amerika Serikat, Perancis, Hongaria, mekanisme sistem pilkada tidak banyak menjadi sorotan perdebatan. Dalam pandangan mereka, apapun sistem yang dianut sama saja, sepanjang fungsi-fungsi pemerintahan daerah  (protective, public service, diveploment) dapat dilaksanakan dengan optimal dan dirasakan hasilnya oleh masyrakat (Sinaga, 2003; 234). Prinsipnya, rakyat harus menjadi subjek pemeratan keadilan dalam berbagai hal (Hamid, 2004: 199).

2)      Pandangan optimistis
Menurut pandangan ini, kepala daerah membutuhkan legitimasi rakyat yang terpisah dari legislative sehingga bertanggung jawab kepada rakyat. Dengan demikian, kepala daerah akan mampu mengoptimalkan fungsi pemerintahan daerah (protective, public service, deveploment).  Menurut kelompok optimis, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat bukan seedar soal cara, melainkan masalah subtansi untuk meningkatkan demokrasi daerah. Dengan pemilihan langsung, mekanisme check and balance akan bekerja baik atau sangat baik sehingga fungusi-fungsi pemerintahan daerah dapat dijalankan secara optimal. Sebaliknya, peranan dan fungsi stakeholder demokrasii di daerah menopang pelaksanaan fungsi pemerintahan daerah tersebut.
Pilkada langsung  merupakan sekumpulan unsur yang melakukan kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan pemilihan kepala daerah. Artinya, sistem pilkada adalah hubungan ketergantungan antar/setiap komponen yang terlihat dan antar kegiatan yang membentuk sistem (interrelationship between past). Menurut Sinaga (2003; 235), pilkada langsung tidak dengan sendirinya menjamin  (taken for granted) peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Pilkada langsung diharapkan dapat mengelimisi distorsi-distorsi demkrasi, seperti politik uang dan intervensi pengurus parpol dalam menentukan calon. Argumen penting lain terkain pilkada langsung terkait dengan kedaulatan rakyat, menurut Ali Masykur Musa (Sinar Harapan, 30 Januari 2003), yaitu pertama,  rakyat secara langsung dapat menggunakan hak-haknyanya secara utuh. Kedua, wujud nyata asas pertanggungjawaban dan akuntabilitas.
2.      Sistem Pilkada Langsung
Reilly (1999) mengungkapkan, sistem pilkada memiliki cirri-ciri dan kecenderungan yang menoncol. Kecenderungan tersebut mencakup implikasi terhadap legitimai pemilihan, proses pemilihan, dan pembiyaan. Reynolds (2001) menguatkan sistem pilkada langsung yang selama ini pernah diterapkan didaerah-daerah dibeberapa Negara dengan sistem Presidensial.

1)      Frist Past the Post System
Sistem ini dikenal sebagai sistem yang sederhana dan efisien. Calon kepala daerah  yang memperoleh suara terbanyak memenangkan pilkada dan menduduki kursi kepala daerah. Karenanya, sistem ini dikenal dengan sistem mayoritas  sederhana (simple majority).
2)      Preferiental Voting System atau Approval Voting System
Cara kerja sistm ini adalah pemilih memberikan peringatan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya kepada calon-calon kepala daerah yang ada pada setiap pemilihan. Seorang calon otomatis aka nada yang memenangkan pilkada dan terpilih menjadi kepala daerah jika perolehan jumlah suaranya terbanyak dan mencapai peringkat pertama.
3)      Two Round System atau Run-Of System
Cara sistem ini adalah pemilihan dilakukan dua putaran ( run off) dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolute lebih dari 50 % dari keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama.
4)      Electoral Collage System
Cara kerja sistem ini adalah setiap daerah pemilihan (kecamatan, dan gabungan kecamatan untuk bupati/walikota; kabupaten/kota dan gabungan kabupaten/kota untuk gubernur) sesuai dengan jumlah penduduk.
5)      Negeria System
Seorang calon kepala daerah dinyatakan pemenang pilkada apabila calon bersangkutan dapat meraih suara mayoritas sederhana ( suara terbanya dari calon-calon yang ada) dan minimum 25%dari sedikitnya 2/3 (dua/tiga) dari daerah pemilihan.

3.      Pilkada Langsung di Indonesia
Di Indonesia, pilkada langsung pernah diintroduksi dalam UU No. 1/1957 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Pada pasal 23 ayat (1) dinyatakan, “kepala daerah dipilih menurut aturan  yang ditetapkan dalam Undang-Undang”. Namum, UU No. 1/1957 ternyata belum menjadi dasar yang kuat untuk merealisasikan pilkada secara langsung, bahkan sampai dicabutnya undang-undng tersebut. Sekitar 45 tahun kemudian, pilkada langsung di Indonesa kembali diwancanakan ke publik. Ide atau gagasan langsung menguat sebagai reaksi atas penyimpangan-penyimbangan demokrasi dalam pilkada perwakilan oleh DPRD yang diatur dalam UU No. 22/1999 dan sebelumnya, yaitu UUNo. 5/1974. Keprihatinan dan kekecewaan terhadap praktif pilkada menurut UU No. 22/1999 dan PP No. 151/2000 tersebut disebabkan oleh dua isu krusial yaitu maraknya money politic dan investasi pengurus parpol di tingkat lokal ataupun pusat.
Kostorius Sinaga enilai, pilkada langsung sebagai eufaria demokrasi, euphoria ini semakin mendaatkan tempat di wancana publik karena ada beberapa penyimpangan dalam pilkada lalu. Penyimpangan timbul karena ketidaksempurnaan mekanisme sistem pilkada selama ini sekaligus karena praktik uang yang melibatakan anggota DPRD. Artinya, rendahnya kgualitas DPRD menjadi intik dari merebaknya persoalan yang bermuara pada kekecewaan masyarakat. Bahkan, dalam pembahasan  ada persoalan strategis yang menimbulkan tarik ulur dan sempat menjadi wancana publik.
1)      Calon Kepala Daerah
Kemungkinan tampilnya calon independent atau calon perseorangan dalam pilkada langsung dalam argument sumber kepemimpinan daerah tidak hanya partai, tapi juga dari elemn-elemen lain, seperti organisasi dan LSM, sempat muncul.
2)      Penyelengkaraan Pilkada Langsung
Pilkada dilaksanakan dengan mayoritas mutlak (absolute mayority) dengan membuka kemungkinan dugunakannya mayoritas sederhana  (simple mayority), suatu yang cukup unik. Sistem tersebut secara tehnik ditujukan dalam penetapan calon terpilih: seorang dinyatakan calon terpilih apabila mendapatkan perolehan suara lebih dari 50%  jumlah pemilih. Jika tidak ada calon yang mendapatkan jumlah segitu, caon terpilih adalah calon yang mendapatkan suara lebih dari 30%. Apabila yang memperoleh dukunganlebih dari 30/5 tidaka ada, harus digelar pilkada putaran kedua(trun of).
            Pilkada gerakan langsung di Indonesia mulai tahun 2005-2009. Tahun 2005, pilkada dilaksanakan di 226 daerah, 197 kabupaten, 36 kota, dan 79 provinsi. Tahun 2006 pilkada dilaksanakan di 86 daerah, 79 kabupaten/kota, dan 7 provinsi yang dibuka lembaran kelam pilkada tuban. Tahun 2007 pilkada dilakasanakan di 6 provinsi, 22 kabupaten, dan 12 kota. Tahun 2008 adalah tahun terakhir pelaksanaan pilkada karena tahun 2009 harus diselengkarakan pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD serta pemilihan llangsung presiden dan wakil presiden. Tahun 2010, Indonesia kembali melaksanakan penyelenggaraan pilkada di 7 provinsi dan 139 kabupaten/kota dan akan terus berlanjut dalam rezim pemilukada sesuai isi UU No. 22/2007 tentang penyelenggaraan pemilu.
Secara umum, problematika pilkada ini terdiri dari tahun ketahun nyaris sama dan berulang-ulang. Realitas itu terjadi karena dipiju oleh  ketidaktuntasan kebijakan pemerintah dalam menjawab permasalahan. Kesimpangsiuran terjadi dalam penentuan kebijakan bagi penyelenggaraan pilkada. UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah yang didalamnya mengatur pilkada dan PP No. 6/2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah  dan wakil kepala daerah  masih dijadikan sumber kebijakan bagi pelaksanaan pilkada.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh beberepa peneliti, permasalahan pilkada  mulai tahun 2005-2008 diantaranya:
a.       Daftar Pemilih
Jika data pemilihan tahun 2004 digunakan pada pilikada 2005 dan seterusnya, dipastikan akan terjadi perubahan data penduduk. Setidaknya hal-hal  yang sangat mungkin berubah diantaranya: (a) berambahnya penduduk berusia di atas 17 tahun : (b) terjadinya pernikahan pendududuk dibawah 17 tahun; (c) bertambahnya penduduk yang meninggal. Dengan tiga hal saja, data penduduk  akan mengalami pergeseran yang sangat signifikan. Oleh karena itu pedataan pemilihanhanya menggunakan daftar pemilh tetap, pada pemilu tahun 2004 sangat memungkinkan kekeliruan.
b.      Kedudukan KPUD
Perkerjaan berat KPUD menuntut terjalinnnya kerja sama antara KPUD dan stakeholder pilikada lainnya. KPUD tidak dapat bergerak sendiri, tetapi harus menyertakan berbagai pihakyang dapat bersama-sama mencegah dan mengatasi munculnya berbagai problematika pilkada yang dapat memicu konflik.
c.       Politik Uang
Secara esensial, pelaksanaan pilkada langsung bertujuan mnguatkan legitimasi olitik “penguasa” di daerah. Namun, dalam koneksi lain terjadi kontraproduktif dengan upaya pembrantasan korupsi karena diidikasikan akan makin menyuburkan “budaya” politik uang. Praktik politik uang bisa terjadi pada saat pengusuulan calon yang dilakukan partai dan saat pencairan dukungan langsung dari rakyat.
d.      Logistic dan Pencairan Dana
Problematika ambatnya pengirirman logistic dana pencairan dana pilkada nyaris terjadi disemua pelaksanaan pilkada. Problem ini terlihat kecil, padahal realitasnya menjadi penghambat utama pelaksanaan pilkada. Pilkada tidak akan terlaksana tanpa dukungan dana dan logistic yang memadai. Yang menjadi permasalahannya, berkaitan dengan penentuan kemunduran waktu pelaksanaan karena lambatnya pencairan dana dan pengirimin lagistik. PP pergantian UU No. 3/2005 yang telah ditetapkan menjadi UU No. 8/2005 tentang prubahan atas UU No. 32/2004 telah menyisipkan dua pasal baru, yakni pasal 236A dan 236B tentang kettentuan yang mengatur keadaan memaksa menunda penyelenggaraan pilkada.
            Secara umum, pilkada langsung di Indonesia memang serat dengan permasalahan dan tampaknya pemerintah pusat cukup serius menanganinya. Sejumlah permasalahan yang sedianya bisa diselesaikan dalam waktu relative singkat, langsung diselesaikan.  Hal itu tergambar dari berbagai putusan yang dikeluarkan MK dalam merespon aspirasi publik dan memperbaiki pelaksanaan pilkada langsung.
            Namun, langkah-lankah keputusan MK tersebut belum cukup untuk mengoptimalkan pelaksanaan pilkada. Hal iu terkait dengan berbagai kebijakan teknis yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Selama ini, putusan-putusan MK tidak seluruhnya dapat di aplikasikan. Ada beberapa yang perlu ditindak lanjuti oleh pemerintah dan DPR dalam bentuk kebijakan yang dapat dijadikan acuan teknis bagi para pelaksana pilkada.


Tags