Press enter to see results or esc to cancel.

YANG DITINDAS YANG MENGHIDUPKAN

Oleh : Muhammad irwan*) “Dari kaum perempuanlah manusia itu pertama kali menerima pendidikan. Di pangkuan perempuan pula seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata...” Itulah sepenggal kalimat yang diutarakan oleh RA. Kartini. Dari kalimat tersebut tampak betapa berartinya peran sesosok “perempuan” dalam sebuah proses kehidupan bagi seorang manusia baru. Namun, dalam perjalanan sejarah kehidupan sosial perempuan, tidaklah mulus. Perempuan pernah mengalami keterkungkungan dalam sebuah sistem yang membelenggu. Membuat perempuan tidak berdaya dan dinomorduakan dari seorang laki-laki. Keterkungkungan tersebut memotivasi perempuan untuk bergerak memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia di dalam lingkungan sosial. Konflik di Aceh telah mempengaruhi dan mengubah peran gender tradisional antara perempuan dan laki-laki. Sekarang peran perempuan tidak lagi hanya dalam urusan rumah tangga, seperti menjadi ibu dan isteri, tetapi makin beragam terlihat. Ada yang menjadi supir, tukang parkir, pemimpin suatu instansi atau yang lainnya. Inilah merupakan perubahan dari tuntutan zaman modern saat ini. Apa yang digariskan oleh nilai-nilai peran gender tradisional dalam masa konflik dulu? telah membawa perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman dan peran yang berbeda di tengah masyarakat. Pengalaman perempuan dalam situasi konflik dapat dipandang dari dua sisi – perempuan sebagai korban dan perempuan sebagai agen/aktor dari konflik dan perdamaian. Untuk memahami peran dan pengalaman perempuan dalam situasi konflik pembahasan ini difokuskan pada kedua aspek tersebut. Hal ini penting karena kenyataan menunjukkan bahwa perempuan bukan sekedar korban pasif, tetapi juga memainkan peranan yang penting sebagai agen konflik dan perdamaian. Dikatakan demikian karena pada saat yang sama, perempuan adalah pihak yang paling dirugikan, dikorbankan dan dibuat menderita oleh konflik Aceh tempo dulu; tetapi justru perempuan jualah yang dalam banyak hal, paling aktif berperan sebagai pelopor, penginisiatif, filter dan motor bagi usaha perdamaian & sumber kehidupan keluarga. Corak fenomenalnya didasarkan pada kenyataan bahwa peranan aktual perempuan bagi perdamaian amat menonjol, yang merupakan sebuah kombinasi yang harmonis antara mereka di lembaga formal (pemerintahan) maupun aktor non formal (praktisi) baik dalam gerakan perempuan peduli, maupun NGO, dan secara individu. Saat ini Jabatan Walikota Banda Aceh yang dipegang oleh Ibu Illiza Sa'aduddin Djamal, seorang perempuan peduli misalnya, amat memungkinkan dan memberi kemudahan bergerak bagi kaum aktivis perempuan dalam memperjuangkan perdamaian yang lebih hakiki dan berkelanjutan. sehingga mempermudah dan memperlancar ruang gerak perempuan!” . Perjuangan Perempuan Masa DOM Jika kita tinjau pada masa DOM dulu merupakan masa mencekam bagi Aceh karena ditetapkannya Aceh sebagai wilayah konflik. Di samping itu pada masa inilah terjadi penyempitan ruang bagi perempuan untuk terlibat dalam urusan tata pemerintahan, misalnya perempuan tidak dilibatkan dalam proses penentuan penetapan status bagi Aceh. Seorang aktifis bagi perdamaian menuturkan bahwa DOM adalah operasi militer yang dilakukan pemerintah terhadap Aceh. Terdapat tiga wilayah yang paling terasa dampak penerapan DOM diantaranya Pidie, Aceh Utara dan Aceh timur. Pada masa DOM, masyarakat di Aceh tidak dapat bahkan tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan apapun yang bersifat politis baik bagi perempuan maupun laki-laki. Setelah DOM dicabut, ternyata belakangan diketahui bahwa ada penemuan kampung janda, kemudian ada kuburan masal dan lainnya. Salah seorang aktivis gerakan menuturkan bahwa operasi itu kejam dan tidak manusiawi (Al-Chaidar, 2008). DOM berdampak sangat parah pada saat itu merusak sendi-sendi kehidupan dan tata nilai yang terbangun di Aceh. Aceh menjadi wilayah yang tertutup dan semangat menonjolkan identitas semakin tinggi. Karena situasi operasi militer maka tentu saja kegiatan sweeping dan aksi-aksi penggerebekan serta penculikan kerap kali dilakukan oleh kedua pihak berkonflik. Tentu saja dampak seperti ini akan sangat dialami oleh perempuan Aceh. Sewaktu-waktu perempuan sendiri menjadi korban dari kekerasan dan pelecehan seksual. DOM justru lebih memperparah kondisi Aceh. Masyarakat umumnya merasa segala sesuatunya terbatas dalam beraktifitas, berprofesi, dalam memberikan pendapat. Merasa dikekang. Ada yang mengatakan bahwa jika orang Aceh akan keluar rumah apakah bepergian ke ladang untuk menggarap sawah atau pergi kemanapun, pesan yang selalu ditinggalkan di rumah adalah kalau tidak pulang tidak perlu dicari karena kemungkinan sudah tewas atau ditangkap. Perempuan Sebagai Pelopor Perdamaian Seperti diuraikan sebelumnya, kiprah perempuan di Aceh pada masa konflik dimana terdapat penghargaan yang hakiki terhadap eksistensi perempuan.Namun demikian, masa-masa itu surut disebabkan faktor penjajahan kolonial Belanda dan perang berkepanjangan di Aceh. Meski begitu, denyut kebangkitan perempuan tidak lagi ditandai oleh munculnya sosok-sosok perempuan seperti Ratu Safiatuddin,Nahrasiyah dan lain sebagainya. Kebangkitan perempuan di Aceh ditandai oleh munculnya organisasi-organisasi atau LSM perempuan yang secara masif dan berkelanjutan mendampingi korban konflik, peran-peran negosiasi, pembebasan orang-orang yang ditangkap dan hilang. Gerakan yang secara masif ini akhirnya bertemu pada kongres DPIA yang pada akhirnya diakui sebagai konsolidasi besar-besaran perempuan di Aceh.Memang rasanya masih mengganjal jika dikatakan ”perempuan Aceh”, karena seakanakan menggeneralisir perempuan-perempuan lain yang tidak ikut dalam DPIA.Perempuan Aceh yang dimaksudkan dalam hal ini adalah suatu kumpulan beberapa orang perempuan Aceh yang mengorganisir dirinya dalam bentuk organisasi atau kelompok. Dengan istilah lain disebut dengan gerakan perempuan Aceh. Apapun rasionalitas yang dibangun dapat disimpulkan perempuan Aceh telah berani mengambil sikap atas kondisi tanah kelahiran yang dicintainya Nanggroe Aceh Darussalam. Sikap tersebut tidak saja dilontarkan melalui lisan tetapi dibuktikan dengan mengikuti DPIA dan menyuarakan rekomendasi bagi perdamaian di Aceh. Disinilah peristiwa dimana perempuan Aceh kembali ikut berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam tatapemerintahan di Aceh.Menurut keterangan dari salah satu aktifis perempuan yang juga salah seorang stering commitee DPIA, sebelum duek pakat itu telah terbentuk Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan (RPUK). Latar belakang pembentukannya adalah bahwa ketika itu terlihat ada banyak persoalan pengungsian. Saat itu hampir semua aktifis perempuan Aceh jadirelawan di RPUK, dan pada saat itu bisa dikatakan gerakan perempuan Aceh sudah mulaiterkonsolidasi. Waktu itu mulai diperhatikan perlunya penanganan khusus untuk perempuan.Salah satu kontribusi yang mengilhami lahirnya Duek Pakat Inong Aceh adalah kongres perempuan nasional. Meskipun sebenarnya kontributor utama adalah aktifis-aktifis perempuan di Aceh yang sudah mulai terkonsolidasi pada masa DOM. Bila ditarik ke belakang, di tingkat nasional proses konsolidasi gerakan perempuan ini diinisiasi oleh aksi organisasi perempuan seperti Poetri Mardika (1912) yang mendorong pemerintah Belanda untuk memperlakukan laki-laki dan perempuan setara. Mukhotib MD menulispada artikel berjudul ”Menemukan Akar Gerakan Perempuan Indonesia”, gerakanperempuan dapat dikatakan sebuah gerakan ketika gerakan itu sungguh-sungguh mengusung hak-hak bagi perempuan lainnya secara universal. Poetri Mardika misalnya,selalu memperjuangkan mengenai kebebasan dan akses perempuan yang setara dengan laki-laki. Maka dari itu sudah sewajarnya pemberlakuan hukum yang adil terhadap perempuan. Akses Pembangunan Gender Yang Adil Dengan dijiwai oleh Hukum Humaniter, PBB terus mengusahakan melindungi perempuan dan anak-anak, termasuk juga usaha untuk mencegah timbulnya perang dan mengusahakan perdamaian. Pada tanggal 31 Oktober 2000, Resolusi 1325 (S/RES/1325) Dewan Keamanan PBB tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan menemukan kata sepakat untuk untuk disahkan. S/RES/1325 merupakan satu-satunya resolusi yang disahkan oleh Dewan Keamanan. Resolusi ini menggambarkan dan mengangkat dampak perang terhadap perempuan, termasuk menyatakan kekhawatiran yang besar terhadap penduduk sipil, terutama perempuan yang paling sering terkena dampak kekerasan dan intimidasi. Resolusi ini juga menegaskan bagaimana perempuan dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian konflik dan menegakkan perdamaian yang berkelanjutan. Pentingnya kesetaraan dalam berpartisipasi dan keterlibatan penuh mereka dalam segenap usaha yang dilakukan akan menjaga dan mendorong perdamaian Aceh dan keamanan tentunya, sehingga mendukung terciptanya perdamaian yang lebih hakiki berkelanjutan ke depan! *(Penulis merupakan mahasiswa Universitas Malikussaleh, jurusan Ilmu komunikasi (jurnalistik), dan pegiat di komunitas panteu menulis pasee.
Tags