Makalah Pencitraan Komunikasi Politik
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Dinamika
komunikasi politik antar sesama elit partai saat itu seakan sangat harmonis, meskipun
perspektif visi ideologis bersebrangan secara diametral Tokoh-tokoh partai tersebut
memberikan citra kebaikannya masing-masing seperti dapat kita ambil contoh pada
masa lalu bnayak tokoh Islam terbesar masa itu seperti Mohammad Natsir,
Sukiman, dan Mohammad Roem dkk bergaul dan berteman baik dengan tokoh partai
Katolik IJ Kasimo dkk dalam semangat kebersamaan dan kebangsaan. Perilaku
politik luhur ini harusnya bukan sekadar ilusi, tapi dipraktikkan dalam
tataran realitas politik konkret dalam Pemilu seperti sekarang. Pemilu
pertama itu adalah pemilu yang paling bersih dan demokratis sepanjang sejarah
Indonesia. Kualitas pemilu yang demikian tidak mungkin dihasilkan dari sebuah
milieu politik yang minus moral dan etika politik seperti pemilu-pemilu
Indonesia selanjutnya.
Sedangkan
dinamika perpolitikan di Aceh sekarang ini, terlihat hampa fatsoen politik.
Lebih banyak diwarnai proses dakwa-dakwi yang mendistorsi prinsip-prinsip
demokrasi dan asas mufakat yang Islami. Selemak kisruh pilkada Aceh beberapa waktu
lalu ini adalah
cerminan budaya politik yang nir fatsoen politik. Atraksi akrobat politik
antara DPRA yang dimotori PA kubu eksekutif yang dipimpin Muzakir manaf, yang
notabene berasal dari rahim perjuangan GAM, telah menguras energi dan waktu
elit yang seharusnya mensejahterakan rakyat korban multi bencana, mulai dari
konflik, tsunami, serta korupsi. Tontonan politik yang disuguhkan sungguh tidak
memberi pendidikan politik kepada rakyat.
1.2
Rumusan Masalah
- Bagaimana proses citra
politik yang di bangun oleh Pemerintahan Aceh?
- Bagaimanakah pembicaraan
pesan politik Zaini dan Muzakir manaf?
- apa saja dampak yang terjadi dalam proses komunikasi politik mereka?
1.3
Tujuan penulisan
- Menganalisa
bagaimana proses citra politik yang terjadi pada Pemerintahan Aceh
- Menganalisis pesan-pesan
politik Zaini dan Muzakir manaf
- Menganalisis dampak yang
terjadi dalam proses komunikasi politik mereka
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Popularitas dan Elektabilitas Zaini-Muzakir
Sesuatu dikatakan
popularitasnya tinggi belum tentu
eklektabilitas tinggi. Popularitas adalah
tingkat keterkenalan dimata publik. Meskipun populer belum tentu layak dipilih. Sebaliknya meskipun punya elektabilitas sehingga layak dipilih tapi karena tidak diketahui publik, maka rakyat tidak memilih. Popularitas (popularity = terkenal) dan elektabilitas (electability = tingkat keterpilihan) sama sekali berbeda, hanya yang satu dengan lainnya saling mendukung .
Sedangkan elektabilitas adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan. Elektabilitas bisa diterapkan kepada barang, jasa, maupun orang, badan, atau partai. Elektabilitas sering dibicarakan menjelang pemilihan umum. Elektabilitas partai politik berarti tingkat keterpilihan partai politik di publik.
Elektabilitas partai tinggi Aceh pada saat itu tinggi berarti partai tersebut memiliki daya pilih yang tinggi. Untuk meningkatkan elektabilitas maka objek elektabilitas harus memenuhi kriteria keterpilihan dan juga populer. Dengan demikian muzakir manaf pada saat itu menyandang
popularitas yang berarti memiliki tingkat
keterkenalan di mata masyarakat karena backgrounnya manatan petinggi GAM, serta didukung dengan sering munculnya di permukaan umum,. Contoh sederhana, KH. Zaenuddin MZ (alm) populer, karena profesinya sebagai da’i sejuta umat, Sule populer karena profesinya sebagai pelawak, Christiano Ronaldo dan Lioneel Messi populer karena profesinya sebagai pemain sepak bola dunia. Mereka memperoleh kepopuleran tersebut, tidak dalam waktu singkat, tapi memerlukan perjuangan yang panjang dibarengi dengan keahliannya masing-masing. Demikian halnya popularitas dalam bidang politik, seperti menjadi pemimpin partai politik, pejabat legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Mereka memperolehnya tidak dalam waktu singkat, tapi dengan usaha dan perjuangan yang cukup lama. Sehingga proses perolehan popularitas tidak jauh berbeda, hanya yang membedakannya adalah profesi (keahliannya) masing-masing.
2.2. Pembicaraan Pesan
Politik
Misi
kerakyatan (propoor) elit telah terkontaminasi oleh unsur politik pragmatisme.
Motivasi masuk ke dalam sistem terkesan lebih dimotivasi faktor Innova atau
double cabin, ketimbang untuk merealisasikan janji-janji semasa kampanye untuk
mensejahterakan rakyat. Inilah potret buram peta politik di Tanah Rencong hari
ini, di tengah proses uji coba dan kerja keras menuju syariatnisasi kehidupan
sosial politik.
pasca
MoU Helsinki telah melahirkan euforia politik lokal, terutama hadirnya partai
politik (parpol) berbasis lokal di Aceh. Telah melahirkan sejumlah politisi
dadakan, yang sebelumnya hanya dinikmati segelintir elit parpol berbasis
nasional warisan Orde Baru. Aktor-aktor politisi baru ini terdiri dari para
mantan kombatan GAM telah mendominasi struktur politik lokal, di parlemen
(DPRA) maupun di eksekutif (kepala daerah). Lapisan elit politik
baru ini secara visi politik masih dalam proses metamorfose dari mental perang
(fighter mindset) menuju politisi sipil profesional. Sudah menjadi kelaziman
lapisan politisi dengan latar mantan gerilyawan memiliki gaya negosiasi dan
pendekatan politik yang masih diwarnai pola militeris.
Kondisi
inilah yang bertahun-tahun telah menyandera demokratisasi politik Aceh yang
menghambat tampilnya kalangan intelektual muda di garda depan perpolitikan Aceh
pascakonflik. Dominasi dan hegemoni kalangan mantan kombatan adalah suatu
konsekuensi logis dari fenomena tersebut.
faktor lemahnya daya tawar politik masyarakat sipil pengusung ideologi populis, seperti pembelaan HAM dan penyelamatan lingkungan. Sehingga upaya menekan secara politik atas partai-partai mainstream membangun politik bersih seperti pemberantasan KKN atau persekongkolan politisi dan pemilik modal. Lemahnya posisi tawar ini, telah membawa beberapa tokoh yang penuh talenta politik, melakukan migrasi politik menjadi elit partai mainstream.
faktor lemahnya daya tawar politik masyarakat sipil pengusung ideologi populis, seperti pembelaan HAM dan penyelamatan lingkungan. Sehingga upaya menekan secara politik atas partai-partai mainstream membangun politik bersih seperti pemberantasan KKN atau persekongkolan politisi dan pemilik modal. Lemahnya posisi tawar ini, telah membawa beberapa tokoh yang penuh talenta politik, melakukan migrasi politik menjadi elit partai mainstream.
Beberapa nilai
yang layak diberikan kepada sikap politik yang sedang dijalankan oleh Partai
Aceh (PA) yang kini dinakhodai oleh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa dengan
Mualem?
Sebagaimana
diketahui, PA mengambil sikap tidak ambil bagian dalam hiruk pikuk politik
Pilkada Aceh saat ini, yang
dinilainya bergerak tanpa menghormati etik dan spirit kesepakatan damai antara
Aceh dan Indonesia. Menurut PA, inti persoalannya bukan soal boleh atau tidak
boleh calon independen terlibat dalam ajang Pilkada Aceh. Tapi, boleh atau
tidak boleh itu mestilah diproses dengan melibatkan lembaga perwakilan rakyat,
DPRA.
Meski
begitu, PA juga tidak mengambil sikap menghadang jalannya politik Pilkada Aceh
saat ini. Tidak ada seruan politik kepada rakyat untuk memboikot jalannya
Pilkada Aceh. PA malah memilih tidak ikut serta sambil mengetuk hati
orang-orang pintar, bijak dan arif, yang oleh PA diyakini masih ada, baik di
nasional maupun di Aceh. PA mengajak mereka untuk menyelamatkan perdamaian
ketimbang terburu-buru dalam ajang Pilkada Aceh. Menurut PA, Jika hal utama
bisa diselamatkan (MoU dan UUPA) barulah pesta demokrasi Pilkada Aceh digelar,
bila perlu semeriah mungkin.
Sikap
politik PA ini, di satu sisi, memang terlihat sebagai sikap politik merugi.
Rugi pertama, takdir politik tiba-tiba saja tercabut pada PA. Betapa tidak,
semua partai politik memang sudah ditakdirkan untuk merebut kekuasaan. Setidaknya,
begitulah pengertian dasar dari partai politik. Dengan begitu partai lebih
yakin bisa mewujudkan cita-cita politiknya. Rugi kedua, PA sudah memberi kartu
kemenangan yang mudah bagi “lawan” politiknya. Bisa jadi dapat menjatuhkan
moral politik anggota partai, terbelah dalam politik dukungan dan pada akhirnya
bisa terjadi persinggungan politik internal partai.
Namun begitu, sikap politik PA bukan tanpa untung. Pertama, PA berhasil memperlihatkan karakter politiknya yang tegas. Rakyat akan berkesimpulan bahwa PA bukan partai politik biasa yang semata-mata berorientasi kekuasaan. Menyelamatkan pardamaian adalah hal utama. MoU Helsinki dan UUPA harus dijaga karena itulah harga diri yang menjadi jalan Aceh meraih masa depan bermartabat. Inilah peran yang sedang ditegaskan oleh PA sebagai partai politik mayoritas.
Namun begitu, sikap politik PA bukan tanpa untung. Pertama, PA berhasil memperlihatkan karakter politiknya yang tegas. Rakyat akan berkesimpulan bahwa PA bukan partai politik biasa yang semata-mata berorientasi kekuasaan. Menyelamatkan pardamaian adalah hal utama. MoU Helsinki dan UUPA harus dijaga karena itulah harga diri yang menjadi jalan Aceh meraih masa depan bermartabat. Inilah peran yang sedang ditegaskan oleh PA sebagai partai politik mayoritas.
PA,
sepertinya tidak mau mengulangi kesalahan sejarah politik masa lalu yang kerap
berakhir dengan pengkhianatan terhadap perjanjian dan kesepakatan. PA, secara
politik seperti ingin berkata bahwa Aceh berdamai tidak dalam artian menyerah
melainkan mari mengelola Aceh dengan menghormati ureung Aceh (melalui DPRA).
Jika ada yang mau diubah maka lakukan perubahan itu dengan baik menurut ukuran
perjanjian. Jika ada yang salah secara hukum atau secara politik maka
perubahannya haruslah dibicarakan sebagaimana yang sudah disepakati prosesnya.
Inilah klik politik PA di bawah kepemimpinan Mualem, tentu menurut penulis. PA telah menutup pintu-pintu negosiasi politik liar sebagaimana kerap terjadi pada sejarah politik Aceh masa lalu. Banyak perjanjian politik berakhir dengan pengkianatan atau minimal menjadi perjanjian tak bermakna, yang akhirnya melahirkan benturan sosial dan pemberontakan.
.
2.3. Pembentukan strategi
Para tokoh
politik atau calon kekuasaan di serambi mekkah pada saat itu sedang membentuk strategi untuk memenangkan pertarungan perebutan
kekuasaan pada pemilu. Para sang calon mempromosikan
diri untuk menarik simpati dan dukungan dari kalangan masyarakat. Hal ini sudah
lumrah, bila menjelang pemilihan umum selalu saja partai politik berupaya untuk
melakukan pendekatan pada masyarakat, dengan melakukan berbagai cara, yang
penting ada kesan seakan-akan peduli terhadap masyarakat, walaupun pada
kenyataan banyak janji-janji manis yang jarang sekali pernah ditepati setelah
mereka memperoleh kursi kekuasaan. Tapi ironisnya justru masyarakat tak pernah
kapok atau belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, padahal momen
pemilihan umum adalah langkah yang tepat untuk menentukan siapa yang layak
dipercaya menjadi wakil mereka demi perbaikan nasib bangsa dan negara ke depan.
Monaco
mendefinisikan kategori popularitas berdasarkan bagaimana seseorang lahir
dengan identitas barunya yang bisa diasosiasikan melalui perantaranya yang
dramatik sebagai “hero”. Sebuah popularitas dapat diraih dalam kemahiran
seseorang dalam memainkan perannya dalam dunia film dan mampu membawa diri
sebagai seorang public figure. Situasi ini menjadi sebuah modelling bagi para
pencari ketenaran seperti para politisi yang mendadak memperoleh liputan
sekelas selebriti dalam sepak terjang politiknya.
Politik pencitraan ini muncul akibat
politik Indonesia yang tidak lagi bisa dikelola melalui cara-cara menakutkan
gaya Orde Baru (represi, intimidasi, kekerasan fisik, tuduhan subversif),
tetapi harus dikelola dengan cara-cara yang “merangkul” rakyat, seperti face to face dengan masyarakat, semisal turun langsung ke lokasi
daerah setempat atau orang yang menjadi sasarannya dalam berkampanye, menjalin
hubungan baik antarmasyarakat, pergi ke pasar - pasar tradisional, ikut kerja
bakti warga, menyapa warga dari pintu satu ke pintu lainnya, memakai kostum
identik dengan rakyat (batik, koko), dan melakukan aksi konvoi kampanye di
jalan. Namun, banyak yang menilai kampanye di jalan sebagai hura - hura dan
pameran kekuatan dan tidak ada usaha untuk mendewasakan para pemilih. Hal
seperti inilah yang biasa dilakukan para tokoh politik untuk mendapatkan opini
publik dari masyarakat.
Namun, seiring berkembangnya zaman dan teknologi yang semakin canggih para
sang calon bukan hanya berkampanye melalui face to face saja dengan masyarakat
akan tetapi dengan mengambil alih peran meda massa untuk meningkatkan
popularitas sang calon. Media massa menjadi lahan strategis dalam menyampaikan
pesan - pesan politik kepada masyarakat. Yaitu, dalam pembentukan opini publik
dan dalam membangun citra politik. Di saat ini, dimana
peranan media massa terutama elektronik menjadi begitu dominan di bandingkan komunikasi yang bersifat orasi. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa bentuk komunikasi kampanye mengalami perubahan yang cukup mendasar.
Dalam
politik yang abad informasi, citra politik seorang tokoh, dibangun melalui
aneka media cetak dan elektronik, terlepas dari kecakapan, kepemimpinan, dan
prestasi politik yang dimilikinya seakan menjadi mantra yang menentukan
politik. Melalui mantra elektronik itu maka persepsi, pandangan dan sikap
politik masyarakat dibentuk bahkan dimanipulasi.
Guna
mencapai tujuan jangka panjang, maka partai politik membutuhkan strategi jangka
panjang. Menurut Firmanzah (2008: 109) strategi partai dapat dibedakan dalam
beberapa hal. Pertama, strategi terkait dengan penggalangan dan mobilisasi
massa dalam pembentukan opini publik ataupun selama periode pemilihan umum.
Strategi ini penting dilakukan untuk memenangkan perolehan suara yang mendukung
kemenangan suatu partai politik. Kedua, strategi partai politik untuk
berkoalisi dengan partai lain. Ketiga, strategi partai politik dalam mengembangkan
dan memberdayakan organisasi politik secara keseluruhan. Strategi tersebut
merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.4.
Komunikator dan pesan Politik
Zaini & Muzakir
Komunikasi atau pesan politik
adalah isu-isu yang disampaikan komunikator kepada komunikan. Diyakini bahwa
komunikator politik selalu “merekayasa” pesan politik sebelum itu disampaikan
kepada komunikan. Artinya, suatu pesan tidak pernah dibuat secara sembarang
oleh sebab seluruh komunikator percaya selalu ada FeedBack dalam setiap
komentar mereka. Penentuan isu ini berkait dengan konsep-konsep Manajemen Isu
dan Kepemilikan Isu.
Pesan
politik yang di lancarkan Zaini & Muzakir menjadi
sangat penting ketika Ia menjabat sebagai Kepala daerah. Pencitraan tokoh politik ini juga tidak
lepas dari “iklan”. Meskipun seorang tokoh tidak memiliki kualifikasi memadai
dan memiliki background yang buruk, tetapi jika media mendukungnya dan
mencitrakannya sebagai sosok yang superior, maka rakyat akan percaya bahwa dia
adalah tokoh politik yang diidam-idamkan rakyat banyak. Politik pencitraan
merupakan upaya seseorang atau lembaga untuk membangun kesan baik di tengah
publik
Penggunaan
saluran komunikasi dalam politik akan berdampak positif dan negatif. Implikasi
negatif politik dalam pemanfaatan media komunikasi ialah pencitraan yang
berlebihan. Di mana politisi lebih suka tampil di media, lebih suka membuat
sensasi, lebih suka retorika dibanding karya, serta lebih menggemari fashion dibanding
vision.
Iklan
politik merupakan bentuk pencitraan diri kandidat dengan strategi
mempromosikan kualitas pribadi tokoh, postur fisik, kecakapan,
hobi, prestasi, rekam jejak, dan kemampuan tertentu yang dianggap istimewa.
Tokoh yang ditampilkan diposisikan memiliki kapasitas dan kompetensi untuk
duduk menjadi anggota parlemen, atau calon kepala daerah. Kandidat
menampilkan orang yang memberikan kesaksian terhadap kiprah kandidat. Kesaksian
diarahkan untuk mendorong efektitifas konsep pencitraan yang tengah dibangun.
Kandidat akan menyampaikan pesan politik dalam bentuk ikrar, janji, atau
sumpah, bila kelak terpilih dirinya dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang
adil, makmur, dan sejahtera.
Iklan
politik sejak lama telah digunakan para politisi sebagai alat kegiatan
komunikasi politik yang mereka lakukan untuk mencari dukungan masyarakat
terhadap tujuan politiknya.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan & Saran
A. Kesimpulan
Dalam proses pencitraan politik dibutuhkan komunikator politik yang pintar
dalam berkomunikasi politik. Ditahun ini
yang perkembangan teknologinya semakin pesat para tokoh politik mengubah
strateginya dalam memperkenalkan partainya kepada khalayak/publik dengan
menggunakan media cetak dan elektronik dan internet tujuannya untuk
mempengaruhi, mencipakan citra positif dan mendapatkan opini publik agar suara
masyarakat berpihak pada partai tersebut. Namun, dalam penyampaian melalui
media massa memilki kekurangannya, yaitu sasaran pesannya kepada siapa. Jika
sasarannya orang yang berasal kalangan bawah cenderung kurang memperhatikan
tentang isu - isu yang ada
B. Saran
Meski
berbagai pencitraan politik yang dilakukan oleh mereka yang
haus akan kekuasaan, kedepannya kita sebagai pemilih harus cerdas siapa yang akan
kita pilih. Pada makalah ini sedikit memberikan ambaran kepada
pembaca bahwa kita juga jangan sampai mudah dipengaruhi oleh janji tokoh
politik yang manis dimulut namun pahit dalam kenyataan kehidupannya sehari –
hari
DAFTAR PUSTAKA
1. Emmanuel Subangun.
1999. Politik Anti Kekerasan Paska Pemilu ‘99. Penerbit : Yayasan Alocita.
Yogyakarta.
2. Jalaluddin Rakhmat.
2004. Komunikasi Politik Komunikator, Pesan, dan Media. Penerbit : PT Remaja
Rosdakarya. Bnadung.
- Kampanye
dan Komunikasi Politik - Serambi Indonesia.html
4. Penerbit : PT Remaja
Rosdakarya. Bnadung.
- www.google.com
Tags
Similar to this Post
MUHAMMAD IRWAN
Desainer Grafis, Traveller dan Blogger
- Menyusuri Jejak teungku Chik Di Tiro
- E-book Gratis
- mencari Jejak Sosok Pahlawan Cut Nyak Dhien yang di Asingkan ke Sumedang oleh Belanda
- KONFLIK KEKUASAAN POLITIK
- Terimaksih Bidikmisi untuk Sarjanaku
- GALLERI
- Tapak Tilas Gunung Seulawah Agam part 2
- Pers Rilis
- Menulis cerpen dalam sekali duduk
- TAPAK TILAS GUNUNG SEULAWAH AGAM PART 3