KONFLIK KEKUASAAN POLITIK
KONFLIK KEKUASAAN
POLITIK
OLEH : DINA AGUSTINA
NUR INTAN SARI RITONGA & IRWAN
NUR INTAN SARI RITONGA & IRWAN
A.
KEKUASAAN
NEGARA
Teori kekuasaan negara adalah teori
lama yang sudah banyak dianut para intelektual dan diterapkan diseluruh negara
di dunia. Secara substansial, teori kekuasaan negara bermuara pada upaya-upaya
negara untuk melegitimasi segala tindakannya sehingga diakui sebagai bagian
kehidupan manusia.
Erich kauffman (dalam brecht, 1970:
345) menyebutkan, esensi negara adalah pengembangan, peningkatan, dan
penyebaran kekuasaan, bersama-sama dengan kemauan untuk menjaga dan
memperthankan diri dengan sukses. Upaya pertama negara adalah penanaman
kekuatan yang tertinggi, bukannya energi-energi mental dan moral bangsa yang
merupakan hasil sampingan.
Menurut Lasswell, kekuasaan adalah
suatu bentuk pelaksanaan pengaruh yang khusus, proses pendekatan
kebijakan-kebijakan pihak lain dengan bantuan (yang aktual ataupun ancaman)
penyitaan-penyitaan yang kasar bagi ketidaksepakatan atas kebijakan-kebijakan
yang ditujukan.
Ilmu politik membicarakan kekuasaan
secara umum dengan semua bentuk di mana semua hal itu terjadi. Kekuasaan politik
merupakan suatu istilah yang kompleks yang selalu berkaitan dengan bentuk
kekuasaan yang lain seperti kemakmuran, dan persenjataan. Kekuasan sebagai
sesuatu yang idealis.
Franz magnis (2003: 39) menyebutkan
bahwa kekuasaan akan tetap jika memiliki legitimasi yang dimaksud dibagi dalam
tiga kategori, yakni :
1. Legitimasi
legalitas, kekuasaan diakui secara hukum; di dapat sesuai prosedur hukum.
2. Legitimasi
demokratis, kekuasaan negara harus mendapat pengakuan dari seluruh rakyat.
3.
Legitimasi normatif, menitikberatkan
kekuasaan secara etis dan moralistis.
Bentuk legitimasi kekuasaan yang
banyak dipakai oleh negara-negara di dunia, termasuk indonesia adalah
legitimasi legalitas. Negara berhak melakukan tindakan apapun (kekuasaan)
karena sesuai dengan aturan/hukum. Legalitas adalah salah satu kriteria bagi
keabsahan wewenang dan menuntut agar semua wewenang (kekuasaan) dijalankan
sesuai dengan hukum yang berlaku. Suatu tindakan dianggap sah karena sesuai
dengan hukum dan dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan hukum.
B.
KONFLIK
KEKUASAAN
Dalam sebuah negara yang
demokratis, konflik menjadi bagian dari proses demokrasi, baik ketika dalam
proses memutuskan produk hukum maupun dalam mengimplementasi produk hukum
tersebut. Dalam pandangan teoretis, teori konflik diantaranya dapat digunakan
sebagai landasan untuk membahas masalah konflik yang ada dalam kehidupan
masyarakat. Dalam ilmu-ilmu sosial dan politik, konflik dipahami sebagai fakta
karena manusia pada prinsipnya tunduk atau mengikuti fakta sosialnya. Dalam teori
sosiologi, teori konflik merupakan antitesis dari teori fungsionalisme
struktural.
1. Tinjauan
teoretis
Arus
utama dalam teori konflik pada intinya berisi premis-premis sebagai berikut :
a. Masyarakat
selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan
terus menerus diantara unsur-unsurnya.
b. Setiap
elemen akan memberikan sumbangan pada disintegrasi sosial.
c.
Keteraturan yang terdapat dalam
masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan
oleh golongan yang berkuasa.
Dalam teori struktural vis a vis,
premis-premis utama dari teori konflik menyatakan:
a. Masyarakat
berada pada kondisi statis, atau tepatnya kondisi seimbang. Distribusi
kekuasaan secara merata ada dalam lapisan anggota masyarakat sesuai fungsinya.
Oleh karena itu, konflik akhirnya menjadi sesuatu yang hampir dapat dipastikan
memang ada dalam kehidupan masyarakat.
b. Konflik
juga dapat berasal dari adanya tindakan individu sebagai pihak yang dikuasai
terhadap sanksi yang diberikan oleh pihak yang sedang berada pada posisi
menguasai.
c. Konflik
merupakan fungsi dari adanya pertentangan antara penguasa dan yang dikuasai,
dimana penguasa senantiasa ingin mempertahankan “set of properties” yang
melekat pada kekuasaannya. Sementara itu, yang dikuasai selalu terobsesi untuk
mewujudkan perubahan yang dianggapnya satu-satunya jalan untuk mencapai
perbaikan posisi dirinya.
Menurut pandangan teori konflik,
struktur dalam masyarakat hanya menimbulkan penindasan dari superordinat
terhadap subordinat, melahirkan ketidakadilan, ketidakmerataan, dan knflik.
Oleh karena itu, struktur tidak diperlukan, termasuk juga keluarga. Keluarga
dapat menjadi modal sosial dalam mengantisipasi konflik yang mengakibatkan
kekerasan dan kerusuhan sosial.
Fukuyama mengemukakan,
“If members of the group come to
expect that others will behave reliably and honestly, then they will come to
trust one another. Trust is like a lubricant that makes the running of any
group organization more efficient.”
2. Perspektif
sosial politik
Konflik
dapat dijelaskan berdasarkan berbagai asumsi teoretis karena didalamnya dapat
terjadi dan sekaligus melibatkan berbagai kekuatan sosial yang ada dalam
masyarakat maupun kekuatan atau pengaruh politik yang ada dan tercermin dari
kekuasaan.
Weber
berpandangan bahwa masyarakat yang lebih diarahkan oleh rasionalnya daripada
oleh nilai-nilai tradisional, serta meluasnya birokrasi di dalam wilayah
ekonomi dan pasar, akan menjadi individu
yang dipergunakan rasionya. Adanya korelasi yang tinggi antara kekuasaan (power),
kekayaan (wealth), dan martabat (prestige), menunjukkan bahwa jabatan atau
wewenang dalam kekuasaan politik (party), pemilikan posisi ekonomi yang
menguntungkan, dan keanggotaan di dalam kedudukan sosial yang tinggi (status
group), dapat menimbulkan tindak kekerasan akibat diskontinuitis ditribusi
ketiga hal tsb. Semakin besar tingkat kemunduran legitimasi dari kewenangan
politik, semakin cenderung terjadi konflik antara superordinat dan subordinat.
3. Perspektif
kebudayaan
Kebudayaan
memandang bahwa norma, nilai, dan hukum terwujud dalam tatanan kehidupan
masyarakat, termasuk semua etnis dalam wilayah tertentu. Dalam menata kehidupan
sosial dan kebudayaan yang berbeda antara satu dan yang lainnya, keutuhna dan
persatuan dalam suatu wilayah dapat terjelma manakala mereka secara sadar dan
rela dapat melatenkan atau memodifikasi norma, nilai, dan hukum yang
nyata-nyata mengundang pertentangan etnis, agama, serta lapisan masyarakat.
Koentjaningrat
(1984) mengelompokkan konflik ke dalam 4 macam :
a. Konflik
batin atau mental conflict (gagasan dan keinginan dalam diri individu)
b. Konflik
kebudayaan atau cultural conflict (persaingan antara warga dalam kolektif
sosial yang mempunyai kebudayaan yang hampir seragam. Persaingan berlangsung
berdasarkan perbedaan-perbedaan khusus pada unsur-unsur kebudayaan yang hampir
seragam itu untuk memperbesar identitas kolektif sosial sendiri)
c. Konflik
kelas atau class conflict (pertentangan antara golongan dalam masyarakat yang
disebabkan adanya perbedaan kepentingan)
d.
Konflik peran role conflict (peranan
atau peranan-peranan yang dipegang oleh seseorang individu yang dilaksanakan
secara tidak konsisten)
Dalam konteks kebudayaan, menurut
parson, dari segi teori integrasi sosial, kohesi sosial akan terjamin jika
terpelihara dua hal :
a. Mengusahakan
proporsi yang cukup dari setiap komponen aktor-aktor yang memadai untuk
bertindak sesuai dengan syarat-syarat dari
sistem-sistem perannya.
b.
Menghindarkan kesepakatan terhadap
pola-pola kebudayaan yang salah satunya gagal dalam menemukan suatu tata tertib
yang minim atau menempatkan tuntutan-tuntutan yang tidak mungkin terhadap
penduduk sehingga menimbulkan penyimpangan dan pertentangan.
Sebuah kestabilan, kerukunan
(perihal hidup damai, kesepakatan, saling tenggang rasa, satu hati dalam
perbedaan) ditunjukkan adanya kesepakatan dalam perbedaan etnis, agama; saling
menghormati warga masing-masing dan mengekang diri dari mengintervensi warga
etnis lain serta bekerja sama dalam kegiatan yang tidak membawa keruntuhan
eksistensi menurut batas demarkasi etnis dan agama masing-masing. Dalam hal ini
ada 4 hal umum yang tercermin, yakni :
a. Ada
nilai-nilai dasar yang dianut tiap-tiap warga etnis memasuki kebudayaannya
b. Status
dan hak pribadi terjamin
c. Prestise
tidak jatuh
d.
Pemilikan dan pencaharian terjamin
C.
RESOLUSI
KONFLIK
1. Memahami
konflik
Konflik
dapat terjadi karena banyak sebab, seperti perbedaan nilai-nilai, kepentingan
dan tujuan, serta persaingan untuk memenangkan sesuatu. Fenomena konflik dan
kekerasan sudah berkembang sedemikian rupa dan telah menembus alam budaya
masyarakat. Montagu dan matson (1983) mengemukakan , this contemporary,
vague-wich has been variously labeled “terorist chick”, is cruetly cult, and
just plain “punk” is not limitid to the movie built runs like a crimson thread
throughout the realm of popular culture all the way.
Konflik
maupun kekerasan dapat pula bersifat konkret dan abstrak. Konflik yang konkret
pada umumnya cenderung mudah diupayakan alternatif solusinya yang tepat.
Sebaliknya, konflik abstrak relatif lebih sulit untuk diupayakan solusinya.
Konflik dapat di klasifikasikan berdasarkan :
a. Dampak
dalam organisasi; fungsional dan disfungsional
b. Posisi
para pelaku; horizontal dan vertikal
c. Sifat
dari para pelaku; tertutup dan terbuka
d. Lamanya
konflik; sesaat dan berkepanjangan
e.
Rencana target; sistematis dan non
sitematis
TAHAPAN TERJADINYA KONFLIK :
2. Menangani
konflik
Faktor
penentu suatu kelompok mampu bertahan dalam konflik berkepanjangan adalah
besarnya kelompok tsb untuk dapat mengerhakan sumber-sumbernya, misalnya jumlah
anggota kelompok mereka yang bersimpati dan sumber ekonomi yang dapat
digerakkan.
Dalam
menangani konflik, terdapat beberapa asumsi yang menopang teori integrasi yang
juga tergambar dalam teori struktural fungsional parsons dan lainnya :
a. Setiap
masyarakat yang secara relatif tetap, struktur unsur-unsurnya relatif stabil.
b. Setiap
masyarakat terssusun dari unsur-unsur yang terintegrasi secara baik.
c. Setiap
unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, yakni memberikan kontribusi terhadap
pemeliharaan keutuhannya sebagai sebuah sistem.
d.
Setiap fungsi struktur sosial didasarkan
atas konsensus terhadap nilai-nilai di antara anggota-anggotanya.
Menangani suatu konflik dengan
berbagai pendekatan :
Upaya mengatasi konflik dapat
dilakukan melalui tindakan :
a. Diciptakan
suatu kemandirian yang cukup tinggi dari individu dan kelompok dalam
masyarakat, terutama ketika berhadapan dengan negara.
b. Diperlukan
adanya ruang publik yang bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara
aktif dari seluruh warga negara melalui wacana dan praksis yang berkepentingan
publik.
c.
Perlu diupayakan membatasi kekuasaan
negara agar tidak memiliki sifat intervensionis.
D.
PEMIMPIN
POLITIK
Pemimpin adalah orang yang membantu
orang lain untuk memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Pemimpin bertindak
dengan cara-cara yang memperlancar produktivitas, moral tinggi, respons yang
energik, kecakapan kerja yang berkualitas, komitmen, efisiensi, sedikit
kelemahan, kepuasan, kehadiran, dan kesinambungan dalam organisasi.
Fungsi seorang pemimpin adalah:
1. Mengendalikan
atau mengarahkan orang lain
2. Memberi
tantangan atau rangsangan-rangsangan kepada orang lain
3. Menjelaskan
kepada atau memberi intruksi kepada orang lain
4. Mendorong
atau mendukung orang lain
5. Memohon
atau mendukung orang lain
6. Melibatkan
atau memberdayakan orang lain
7.
Memberi ganjaran atau memperkuat orang
lain
E.
KEKUASAAN LOKAL
Almond
dan Verba (dalam Alfian, 1990 ) mendefenisikan budaya politik sebagai suatu
sikap orientasi warga Negara yang khas sebagai sistem politik dan aneka ragam
baiannya, serta sikap terhadap peranan warga dalam sistem itu. Warga senantiasa
mengidentifikasikan diri dengan symbol-simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan
berdasarkan orientasi yang mereka miliki masing-masing. Orientasi seseorang
tehadap objek politik mengandung tiga komponen orientasi, yakni orientasi
kognitif, afektif, dan efaluatif. Pada orientasi kognitif yaitu menjadi tahu.
Pada orientasi afektif, yang menjadi focus kepentingannya adalah pemuasan,
yaitu pencapaian hubungan yang tepat dengan objek orientasi. h Sedangkan pada
orientasi evaluative, yang menjadi fokus orintasi adalah pengintegrasian
factor-faktor kognitif dan afektif yang terkait.
Kehidupan
masyarakat dipengaruhi interaksi anarorientasi dan antar nilai. Kontak-kontak
antarsubbudaya politik memungkinkan
timbulnya interaksi. Pada dasarnya interaksi tersebut merupakan suatu proses
pengembangan budaya politik bangsa. Dan proses ini lebih dikenal dengan
sosialisasi politik, yaitu dimana seorang anggota masyarakat mengalami,
menghayati, dan menyerap nilai-nilai politik disekitarnya. Melalui peruses
itulah, budaya politik tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sosialisasi
politik dan budaya politik Saling mempengaruhi. Pada satu pihak, pertumbuhan
dan perkembangan budaya politik merupakan output sosialisasi politik, akan
tetapi pada lain pihak budaya politik dapat pula berfungsi sebagai input dari
sosialisasi politik ( Duverger, 1982).
Dilihat
dai fungsinya, secara keseluruhan, budaya politik bertujuan mencapai atau
memelihara stabilitas poitik yang demokratis, sehingga cukup jelas bahwa
masyarakat yang telah mencapai kadar integrasi politik yang tinggi memdahkan
proses pengambilan keputusan dalam system politik. Pada prinsipnya,
berfungsinya budaya politik dengan baik ditentukan oleh keserasian antara
kebudayaan dan struktur politiknya. Semangkin serasi struktur politik dengan
aspek-aspek budaya itu, semnkin matang pula budaya politiknya. Keanekaragaman
budaya telah membawa pengaruh besar pada budaya politik bangsa. Banyangkan
budaya daerah yang hadir dalam sistem budaya Indonesia telah menimbulkan
subbudaya politik yang mempunyai corak yang berbeda dengan struktur budaya
politik. Perbedaan antara subbudaya politik satu daerah dengan daereah lain
semangkin diperbesar oleh keadaan geografis.
Seorang
ilmuan politik Australia, Herbert Feith, mengemukakan bahwa Indonesia memiliki
dua subbudaya politik yang dominan, yaitu :
(1) aristokrasi jawa
(2) wiraswasta islam.
seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Chlifford
greerts mengelompokkan masyrakat indonesia kedalam tiga subbudaya politik
(sosio-cultural types), yaitu :
(1) petani pedalaman Jawa dan Bali
(2) masyarakat islam petani
(3) masyarakat penggunungan (Alfian,1991; Feith,
1975)
Karena bangsa Indonesia berdasarkan
pada prinsip Bhineka Tungkal Ika, semua bentuk sub budaya politik yang ada
adalah budaya politik Indonesia. Pernyataan ini menyiratkan bahwa apa yang
disebut sebagai budaya nasional masi berupa kombinasi antara subbudaya politik
yang diangkat ketingkat nasional oleh para pelaku politik. Dengan demekian
terjadilah pada tinggat nasional terjadi interaksi antarsubbudaya politik
(Greetz, 1963; Emmerson, 1976). Pembentukan budaya politik nasional dapat
dibagi dalam tiga tahap. Pertama, yang sedang dalam proses pembentukan. Kedua,
yang tengah mengalami proses pematangan. Dalam tahap ini, budaya politik pada
dasarnya sudah ada, tetapi masih belum matang. Ketiga, yang telah diakui
keberadaannya secara nasional (Alfian dan Nazarudin, 1991; Bahar, 1996). Proses
pematangan budaya politik Indonesia pada dasarnya melibatkan suatu tahap
penyerasian antara berbagai subbudaya politik local dan sub budaya nasional.
Subbudaya politik local inilah yang mesti diserasikan dengan struktur politik
nasional. Menurut Geertz (1996), subbudaya ini dapat melahirkan primordialisme,
baik bersifat kedaerahan, keagamaan maupun kekauman.
Pengakuan
Bhineka Tunggal Ika secara resmi dapat dijumpai dalam rumusan kebudayaan
seperti yang tercantum dalam UUD 1945. Pasal 32 UUD 1945 menampilkan tiga
unsure kebudayaan nasional. Pertama, kebudayaan yang timbul sebagai hasil usaha
budi rakyat Indonesia sepenuhnya. Kedua, kebudayaan lama dan asli sebagai
puncak-puncak kebudayaan didaerah-daerah diseluruh Indonesia. Ketiga,
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri,
serta mempertinggi derajat Indonesia (Koentjaraningrat, 19840.
Subbudaya
lokal dapat digolongkan dalam budaya politik parochial (parochial political culture). Menurut Kantaprawira (1991), karena
terbatasnya diferensiasi, dalam masyarakat tradisonal dan sederhana tidak dapat
peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri, pelaku politik sering
melakukan peranannya serempak dengan peranan dalam bidang ekonomi, social, dan
keagamaan. Dalam proses pematangan
subbudaya politik, agama memberi dukungan pada adat. Seringkali agama berperan
membenarkan pandangan masyarakat atas kekuasaan atau symbol-simbol yang melekat
pada masyarakat tersebut. Bantauan yang
diberikan oleh agama biasanya dalam bentuk penyediaan nilai atau argumentasi
yang membenarkan masyarakat.
Interdependen
antara adat dan agama sebagai karakter budaya politik local di Indonesia
tercermin dalam konsep kekuasaan yang hidup dalam tiap-tiap daerah. Sendi utama
dalam pematangan budaya politik local adalah pengakuaan atau kesepakatan atas
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat masing-masing. Interaksi antara adat dan
agama mewarnai perkembangan subbudaya politik. Warna-warna subbudaya politik
pada dasarnya cukup mencerminkan hubungan suatu daerah dengan pengaruh yang
datang dari luar. Meskipun terdapat keanekaragaman, budaya politik lokal yang
berkembang dalam komunitas-komunitas telah mewariskan segi-segi positif yang
sama sehingga patut diikembangkan dalam penyelenggaraan Negara. Aspek-aspek
politik budaya lokal yang dimaksud seperti, semangat kebersamaan, kekeluargaan,
gotong royong, dan musyawarah dalam mengatasi berbagai persoalan.
Pada
tingkat politik local, juga dapat terjadi ketegangan politik. Interaksi antara
daerah dapat menimbulkan potensi-potensi yang dapat dilihat dari sudut
komunitas lokal akan menjadi ancaman terhadap eksistensi budaya politik lokal.
Perasaan akan adanya ancaman ini memunculkan sikap membentengi budaya politik
asli agar lebih tegar menghadapi penetrasi-penetrasi semacam itu (Nazarudin
dalam Alfian, 1991). Pada tingkat yang lebih operasional, artikulasi budaya
politik lokal dapat dilihat melalui peranan pemuka adat, tokoh agama dan
organisasi-organisasi sukarela yang bergabung dalam masyarakat. Artikulasi ini
kemudian dapat terwujud dalam bentuk perilaku politik masyarakat.
1.
Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada)
Seperti halnya
suatu Negara, daerah yang merupakan
bagian dari unsur Negara, juga memiliki kekuasaan. Kekuasaan ersebut
bersumber dari kepanjangan kepentingan dan kekuasaan Negara (pusat), sekalikus
manifestasi kehendak rakyat di daerah. Dalam Negara dengan system pemerintahan
demokrasi, puncak pemimpin pemerintah didaerah berada pada seorang kepala
daerah (penguasa daerah). System pemilihannya pun dipengaruhi oleh
tarik-menarik antara kepentngan-kepentingan elit politik dan kehendak publik
yang telah berlangsung sejak kekuasaan lahir dalam seuatu Negara. Dengan
demikian, sejarah Negara juga mempengaruhui pilihan system pilkada.
Variasi
system pilkada:
1) Sistem
penunjukan dan atau pengangkatan oleh pemerintah/pejabat pusat.
2) Sistem
pemilihan perwakilan oleh dewan (council).
Sistem ini digunakan hampir oleh dua pertiga Negara-negara di dunia yang
menganut system Negara kesatuan.
3)
Sistem pemilihan langsung oleh rakyat.
System ini paling populer digunakan di negerara-negara yang menganut system
pemerintahan Negara federasi, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Kanada.
Sekurangnya ada
dua pandangan yang muncul berkaitan dengan pilkada secara langsung, yaitu:
1) Pandangan
pesimistis
Menurut pandangan ini, di Negara-negara
demokrasi dengan sisttem pemerintahan yang relatife mapan (established), seperti Amerika Serikat, Perancis, Hongaria,
mekanisme sistem pilkada tidak banyak menjadi sorotan perdebatan. Dalam
pandangan mereka, apapun sistem yang dianut sama saja, sepanjang fungsi-fungsi
pemerintahan daerah (protective, public service, diveploment)
dapat dilaksanakan dengan optimal dan dirasakan hasilnya oleh masyrakat
(Sinaga, 2003; 234). Prinsipnya, rakyat harus menjadi subjek pemeratan keadilan
dalam berbagai hal (Hamid, 2004: 199).
2) Pandangan
optimistis
Menurut
pandangan ini, kepala daerah membutuhkan legitimasi rakyat yang terpisah dari
legislative sehingga bertanggung jawab kepada rakyat. Dengan demikian, kepala
daerah akan mampu mengoptimalkan fungsi pemerintahan daerah (protective, public service, deveploment). Menurut kelompok optimis, pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat bukan seedar soal cara, melainkan masalah
subtansi untuk meningkatkan demokrasi daerah. Dengan pemilihan langsung,
mekanisme check and balance akan
bekerja baik atau sangat baik sehingga fungusi-fungsi pemerintahan daerah dapat
dijalankan secara optimal. Sebaliknya, peranan dan fungsi stakeholder demokrasii di daerah menopang pelaksanaan fungsi
pemerintahan daerah tersebut.
Pilkada langsung merupakan sekumpulan unsur yang melakukan
kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan pemilihan kepala daerah.
Artinya, sistem pilkada adalah hubungan ketergantungan antar/setiap komponen
yang terlihat dan antar kegiatan yang membentuk sistem (interrelationship between past). Menurut Sinaga (2003; 235),
pilkada langsung tidak dengan sendirinya menjamin (taken
for granted) peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Pilkada langsung
diharapkan dapat mengelimisi distorsi-distorsi demkrasi, seperti politik uang
dan intervensi pengurus parpol dalam menentukan calon. Argumen penting lain
terkain pilkada langsung terkait dengan kedaulatan rakyat, menurut Ali Masykur
Musa (Sinar Harapan, 30 Januari 2003), yaitu pertama, rakyat secara langsung dapat menggunakan
hak-haknyanya secara utuh. Kedua, wujud nyata asas pertanggungjawaban dan
akuntabilitas.
2.
Sistem
Pilkada Langsung
Reilly (1999)
mengungkapkan, sistem pilkada memiliki cirri-ciri dan kecenderungan yang
menoncol. Kecenderungan tersebut mencakup implikasi terhadap legitimai
pemilihan, proses pemilihan, dan pembiyaan. Reynolds (2001) menguatkan sistem
pilkada langsung yang selama ini pernah diterapkan didaerah-daerah dibeberapa Negara
dengan sistem Presidensial.
1) Frist
Past the Post System
Sistem
ini dikenal sebagai sistem yang sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak memenangkan
pilkada dan menduduki kursi kepala daerah. Karenanya, sistem ini dikenal dengan
sistem mayoritas sederhana (simple majority).
2) Preferiental
Voting System atau Approval Voting System
Cara
kerja sistm ini adalah pemilih memberikan peringatan pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya kepada calon-calon kepala daerah yang ada pada setiap pemilihan.
Seorang calon otomatis aka nada yang memenangkan pilkada dan terpilih menjadi
kepala daerah jika perolehan jumlah suaranya terbanyak dan mencapai peringkat
pertama.
3) Two
Round System atau Run-Of System
Cara
sistem ini adalah pemilihan dilakukan dua putaran ( run off) dengan catatan
jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolute lebih dari 50 % dari
keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama.
4) Electoral
Collage System
Cara
kerja sistem ini adalah setiap daerah pemilihan (kecamatan, dan gabungan
kecamatan untuk bupati/walikota; kabupaten/kota dan gabungan kabupaten/kota
untuk gubernur) sesuai dengan jumlah penduduk.
5) Negeria
System
Seorang
calon kepala daerah dinyatakan pemenang pilkada apabila calon bersangkutan dapat
meraih suara mayoritas sederhana ( suara terbanya dari calon-calon yang ada)
dan minimum 25%dari sedikitnya 2/3 (dua/tiga) dari daerah pemilihan.
3.
Pilkada
Langsung di Indonesia
Di Indonesia, pilkada langsung pernah diintroduksi
dalam UU No. 1/1957 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Pada pasal 23 ayat
(1) dinyatakan, “kepala daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang”. Namum,
UU No. 1/1957 ternyata belum menjadi dasar yang kuat untuk merealisasikan
pilkada secara langsung, bahkan sampai dicabutnya undang-undng tersebut.
Sekitar 45 tahun kemudian, pilkada langsung di Indonesa kembali diwancanakan ke
publik. Ide atau gagasan langsung menguat sebagai reaksi atas
penyimpangan-penyimbangan demokrasi dalam pilkada perwakilan oleh DPRD yang
diatur dalam UU No. 22/1999 dan sebelumnya, yaitu UUNo. 5/1974. Keprihatinan
dan kekecewaan terhadap praktif pilkada menurut UU No. 22/1999 dan PP No.
151/2000 tersebut disebabkan oleh dua isu krusial yaitu maraknya money politic
dan investasi pengurus parpol di tingkat lokal ataupun pusat.
Kostorius Sinaga enilai, pilkada langsung sebagai
eufaria demokrasi, euphoria ini semakin mendaatkan tempat di wancana publik
karena ada beberapa penyimpangan dalam pilkada lalu. Penyimpangan timbul karena
ketidaksempurnaan mekanisme sistem pilkada selama ini sekaligus karena praktik
uang yang melibatakan anggota DPRD. Artinya, rendahnya kgualitas DPRD menjadi
intik dari merebaknya persoalan yang bermuara pada kekecewaan masyarakat.
Bahkan, dalam pembahasan ada persoalan
strategis yang menimbulkan tarik ulur dan sempat menjadi wancana publik.
1) Calon
Kepala Daerah
Kemungkinan
tampilnya calon independent atau calon perseorangan dalam pilkada langsung
dalam argument sumber kepemimpinan daerah tidak hanya partai, tapi juga dari
elemn-elemen lain, seperti organisasi dan LSM, sempat muncul.
2) Penyelengkaraan
Pilkada Langsung
Pilkada
dilaksanakan dengan mayoritas mutlak (absolute
mayority) dengan membuka kemungkinan dugunakannya mayoritas sederhana (simple
mayority), suatu yang cukup unik. Sistem tersebut secara tehnik ditujukan
dalam penetapan calon terpilih: seorang dinyatakan calon terpilih apabila
mendapatkan perolehan suara lebih dari 50%
jumlah pemilih. Jika tidak ada calon yang mendapatkan jumlah segitu,
caon terpilih adalah calon yang mendapatkan suara lebih dari 30%. Apabila yang
memperoleh dukunganlebih dari 30/5 tidaka ada, harus digelar pilkada putaran
kedua(trun of).
Pilkada
gerakan langsung di Indonesia mulai tahun 2005-2009. Tahun 2005, pilkada
dilaksanakan di 226 daerah, 197 kabupaten, 36 kota, dan 79 provinsi. Tahun 2006
pilkada dilaksanakan di 86 daerah, 79 kabupaten/kota, dan 7 provinsi yang
dibuka lembaran kelam pilkada tuban. Tahun 2007 pilkada dilakasanakan di 6
provinsi, 22 kabupaten, dan 12 kota. Tahun 2008 adalah tahun terakhir
pelaksanaan pilkada karena tahun 2009 harus diselengkarakan pemilihan umum
anggota DPR, DPD, DPRD serta pemilihan llangsung presiden dan wakil presiden.
Tahun 2010, Indonesia kembali melaksanakan penyelenggaraan pilkada di 7
provinsi dan 139 kabupaten/kota dan akan terus berlanjut dalam rezim pemilukada
sesuai isi UU No. 22/2007 tentang penyelenggaraan pemilu.
Secara umum, problematika pilkada
ini terdiri dari tahun ketahun nyaris sama dan berulang-ulang. Realitas itu terjadi
karena dipiju oleh ketidaktuntasan
kebijakan pemerintah dalam menjawab permasalahan. Kesimpangsiuran terjadi dalam
penentuan kebijakan bagi penyelenggaraan pilkada. UU No. 32/2004 tentang
pemerintahan daerah yang didalamnya mengatur pilkada dan PP No. 6/2005 tentang
pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah masih dijadikan sumber kebijakan bagi
pelaksanaan pilkada.
Berdasarkan kajian yang dilakukan
oleh beberepa peneliti, permasalahan pilkada
mulai tahun 2005-2008 diantaranya:
a. Daftar
Pemilih
Jika
data pemilihan tahun 2004 digunakan pada pilikada 2005 dan seterusnya,
dipastikan akan terjadi perubahan data penduduk. Setidaknya hal-hal yang sangat mungkin berubah diantaranya: (a)
berambahnya penduduk berusia di atas 17 tahun : (b) terjadinya pernikahan
pendududuk dibawah 17 tahun; (c) bertambahnya penduduk yang meninggal. Dengan
tiga hal saja, data penduduk akan
mengalami pergeseran yang sangat signifikan. Oleh karena itu pedataan
pemilihanhanya menggunakan daftar pemilh tetap, pada pemilu tahun 2004 sangat
memungkinkan kekeliruan.
b. Kedudukan
KPUD
Perkerjaan
berat KPUD menuntut terjalinnnya kerja sama antara KPUD dan stakeholder pilikada lainnya. KPUD tidak
dapat bergerak sendiri, tetapi harus menyertakan berbagai pihakyang dapat
bersama-sama mencegah dan mengatasi munculnya berbagai problematika pilkada
yang dapat memicu konflik.
c. Politik
Uang
Secara
esensial, pelaksanaan pilkada langsung bertujuan mnguatkan legitimasi olitik
“penguasa” di daerah. Namun, dalam koneksi lain terjadi kontraproduktif dengan
upaya pembrantasan korupsi karena diidikasikan akan makin menyuburkan “budaya”
politik uang. Praktik politik uang bisa terjadi pada saat pengusuulan calon
yang dilakukan partai dan saat pencairan dukungan langsung dari rakyat.
d. Logistic
dan Pencairan Dana
Problematika
ambatnya pengirirman logistic dana pencairan dana pilkada nyaris terjadi
disemua pelaksanaan pilkada. Problem ini terlihat kecil, padahal realitasnya
menjadi penghambat utama pelaksanaan pilkada. Pilkada tidak akan terlaksana
tanpa dukungan dana dan logistic yang memadai. Yang menjadi permasalahannya,
berkaitan dengan penentuan kemunduran waktu pelaksanaan karena lambatnya
pencairan dana dan pengirimin lagistik. PP pergantian UU No. 3/2005 yang telah
ditetapkan menjadi UU No. 8/2005 tentang prubahan atas UU No. 32/2004 telah
menyisipkan dua pasal baru, yakni pasal 236A dan 236B tentang kettentuan yang
mengatur keadaan memaksa menunda penyelenggaraan pilkada.
Secara
umum, pilkada langsung di Indonesia memang serat dengan permasalahan dan
tampaknya pemerintah pusat cukup serius menanganinya. Sejumlah permasalahan
yang sedianya bisa diselesaikan dalam waktu relative singkat, langsung
diselesaikan. Hal itu tergambar dari
berbagai putusan yang dikeluarkan MK dalam merespon aspirasi publik dan
memperbaiki pelaksanaan pilkada langsung.
Namun,
langkah-lankah keputusan MK tersebut belum cukup untuk mengoptimalkan
pelaksanaan pilkada. Hal iu terkait dengan berbagai kebijakan teknis yang
dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Selama ini, putusan-putusan MK tidak
seluruhnya dapat di aplikasikan. Ada beberapa yang perlu ditindak lanjuti oleh
pemerintah dan DPR dalam bentuk kebijakan yang dapat dijadikan acuan teknis
bagi para pelaksana pilkada.
Tags
Similar to this Post
MUHAMMAD IRWAN
Desainer Grafis, Traveller dan Blogger
- Menyusuri Jejak teungku Chik Di Tiro
- E-book Gratis
- mencari Jejak Sosok Pahlawan Cut Nyak Dhien yang di Asingkan ke Sumedang oleh Belanda
- KONFLIK KEKUASAAN POLITIK
- Terimaksih Bidikmisi untuk Sarjanaku
- GALLERI
- Tapak Tilas Gunung Seulawah Agam part 2
- Pers Rilis
- Menulis cerpen dalam sekali duduk
- TAPAK TILAS GUNUNG SEULAWAH AGAM PART 3